Sedikit Catatan dari Seorang Mahasiswi Rantau

Dua tahun lalu pada bulan Juli, aku menapakkan kakiku untuk pertama kalinya di Surabaya.

Aku mengingat kesan pertamaku. Hal pertama yang membuatku tercengang adalah jalan rayanya yang begitu lebar. Satu arah dari jalan besar Surabaya sama dengan dua arah jalan raya di Medan. Bayangkan betapa besarnya Surabaya meskipun Medan hanya satu peringkat di bawahnya dalam daftar kota terbesar di Indonesia.

Tentu tidak semua jalan raya di Medan sesempit yang ku gambarkan, namun kota ini begitu besar dan berbeda dari kota asalku, dan aku akan menetap di sini selama empat tahun ke depan untuk studi S1-ku. Ada sedikit ketakutan yang terbesit di kepalaku kala itu. Aku tidak pernah merasa asing, sekalipun di negara lain. Namun, ibukota Jawa Timur ini berhasil membuatku merasa asing, dan keasingan itu sangat asing bagiku.

Ke mana pun aku pergi, aku hanya bisa kebingungan. Di Medan, aku terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Hokkien. Memang, di luar keluarga dan teman-temanku, aku menggunakan bahasa Indonesia. Namun, karena mayoritas murid sekolahku yang menjadi tempat utama aku bersosialisasi beretnis Tionghoa, bahasa Hokkien menjadi bahasa utamaku. Aku mengakui bahasa Indonesiaku masih cukup fasih untuk percakapan sehari-hari. Meski begitu, aku masih berada di level pemula dibandingkan orang-orang di sini yang luar biasa fasih dalam bahasa Indonesia. 

Kelemahan bahasaku ini membuatku tidak tahu harus menempatkan diri di mana, dan ini dipersulit dengan ketidakpahamanku terhadap bahasa sehari-hari yang lebih sering digunakan teman-teman kuliahku, yaitu bahasa Jawa. Alih-alih bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia yang bukan merupakan bahasa utamaku, aku bahkan tidak pernah menemui bahasa Jawa seumur hidupku. Aku memiliki nol pengetahuan tentang bahasa Jawa. Nol. Ketika aku mengamati bahwa bahkan etnis Tionghoa di sini lebih umum menggunakan bahasa Jawa, aku menyadari bahwa bahasa Jawa adalah bahasa Hokkien mereka. Di saat itu pula aku tersadar, akan tidak memungkinkan bagiku untuk bertahan di sini tanpa belajar bahasa Jawa.

Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku harus benar-benar berusaha untuk menyesuaikan diri di sini. Terus terang saja, selama beberapa bulan di awal perkuliahan, aku hanya mengambang di sana-sini. Semuanya begitu baru, dari kota Surabaya secara fisik, makanan, tata krama, dan bahasa, sungguh membingungkan. Kenyamanan yang sudah ku nikmati selama di Medan hilang begitu saja. Dalam hal paling fundamental seperti bergaul, aku orang terakhir yang tertawa ketika seseorang bercanda. Ini dikarenakan untuk beberapa waktu, aku selalu meminta tolong siapapun yang berada di dekatku untuk menerjemahkan percakapan yang sedang berlangsung. Ketika tidak ada yang hadir untuk menerjemahkan bahasa Jawa yang ku dengar ke dalam bahasa Indonesia, percakapan teman-teman kampusku dan anekdot-anekdot dosen-dosenku hanya kebisingan yang lalu lalang di telingaku. Di satu sisi, aku merasa terbebani batas-batas bahasa dan memerlukan bantuan orang lain. Di sisi lain, aku merasa membebani orang lain.

Pelan-pelan, aku mendapati diriku yang menciut saat presentasi di kelas dan menarik diri dari percakapan yang tidak penting. Berawal dari seseorang yang begitu percaya diri dan supel di kota asalku, halangan bahasa dan budaya telah membuatku cenderung menghindari situasi sosial. Faktanya, ketidakmampuanku menguasai bahasa resmi tempat kelahiranku serta bahasa daerah tempat kuliahku telah menghambatku dalam mengeksplor kehidupan mahasiswi secara menyeluruh.

Sumber: http://presiden82.blogspot.com/
Aku menyadari, bahwa hukum utama dalam berteman dengan orang lain adalah beradaptasi dengan kebutuhan pihak lain. Aku perlu menegosiasikan kebutuhanku dengan kebutuhan orang lain, dan itulah yang aku lakukan. Dalam hal ini, batasan bahasa yang menjadi masalah utama. Agar aku mampu bergaul dengan baik, aku perlu mencari mentor bahasa untuk membimbingku.

Aku mencoba mendekatkan diri dengan beberapa orang yang aku kenal. Beberapa di antaranya berbaik hati untuk mengajarkanku dasar-dasar bahasa Jawa. Aku mulai mengenal istilah-istilah seperti kromo inggil, kromo halus, dan ngoko yang merupakan jenis bahasa Jawa yang memiliki konteks penggunaannya tersendiri. Selanjutnya, aku minta diajarkan kosa kata dasar dalam bahasa Jawa yang akan sering ku temui dalam percakapan sehari-hari. Siji, loro, teluMangan, ngombe, adus. Aku mencatat semua kosa kata tersebut untuk dipelajari kembali kala waktu luang.

Catatan tersebut mungkin membantu, namun pada dasarnya, mencoba berbaur erat kaitannya dengan kompetensi praktek. Oleh karena itu, aku juga memaksakan diriku untuk ikut dalam percakapan teman-temanku, meski mereka menggunakan bahasa Jawa. Mulanya, aku kesulitan membagi perhatianku. Aku tidak tahu apa yang perlu diprioritaskan dahulu: antara memilah-milah arti kata per kata yang sedang diucapkan, atau mencoba memahami percakapan secara keseluruhan. Namun, perlahan-lahan aku mulai mampu mengidentifikasi kata-kata yang sering muncul dalam percakapan, memahami konteks percakapan, hingga akhirnya mampu memahami percakapan tersebut sebagai suatu kesatuan interaksi. Sekarang, tanpa bantuan penerjemah di dekatku!

Selain berkembangnya wawasanku tentang kosa kata bahasa Jawa sehari-hari yang dipakai di Surabaya,  kemampuan berbahasa Indonesiaku juga kian membaik. Ternyata, tembok bahasa ini dapat diruntuhkan seiring dengan waktu, latihan, dan kebiasaan. Kini, aku sudah tidak kesulitan dalam lingkaran pertemanan kampusku. Kadang kala, aku masih memerlukan bantuan ketika ada kosa kata spesifik yang terdengar asing di telingaku, baik yang Jawa, maupun bahasa gaul Indonesia yang umum di Surabaya. Namun, ini hanya terjadi ketika kami sedang membahas topik-topik tertentu. Kebutuhanku atas bantuan penerjemah sudah tidak semengganggu dua tahun lalu.

Aku sering mendengar orang-orang yang meninggalkan kampung halaman bercerita tentang kerinduan mereka pada keluarga, teman, dan kampung halaman mereka secara umum. Percayalah, aku merindukan semua hal itu juga. Kendati begitu, di antara semua itu, aku paling merindukan diriku sendiri. Terutama ketika aku telah pernah menemukan “jati diriku” sebelumnya, tetapi dengan mudahnya kembali tersesat saat terjadi perubahan sesepele pindah ke pulau lain dengan bahasa dan budaya lain pula.

Hal lain yang sempat aku khawatirkan juga adalah kemungkinan tenggelamnya diriku dalam budaya Jawa. Logat, nilai, dan kebiasaan yang aku bawa dari Medan merupakan bagian integral dari siapa diriku. Namun untuk berbaur, aku perlu menanggalkan semua itu. Aku sangat yakin bahwa ketika aku merangkul keseluruhan budaya Jawa sebagai bagian dari kehidupanku, aku akan terpisah dari siapa diriku sebenarnya. Bagaimanapun, aku berhasil memenangkan konflik batin ini. Lagi-lagi, dengan menegosiasikan kepentingan kedua posisi. Aku boleh saja mempertahankan unsur-unsur “ke-Medan-an”ku, tetapi aku juga perlu mengakomodasi situasi-situasi tertentu yang memerlukanku untuk menggandeng budaya Jawa. Kebiasaan salim dan membungkuk saat lewat di depan orang lain merupakan kebiasaan yang aku pertahankan dan bahkan bawa kembali ke Medan. Tentunya keluargaku tidak memerlukan itu karena mereka tidak memahami asal-usul dan signifikansi dari kedua kebiasaan tersebut. Kami sudah punya etika kesopanan tersendiri, untuk apa kami mengubahnya dengan etika Jawa? Namun, hal ini menjadi krusial ketika aku berhubungan dengan orang di luar etnis Tionghoa. Mereka mengapresiasi kesadaranku tentang budaya di luar budayaku sendiri dan apresiasi ini membuatku berterimakasih kepada keputusanku untuk menerima budaya lain, namun dengan tetap menyaringnya sesuai kebutuhanku.

Lalu, apa kesimpulan dari sejumlah kata-kata di atas? Aku ingin siapapun di luar sana mencatat bahwa, seasing apapun yang kamu rasakan - baik dalam konteks gegar budaya atau bahkan kondisi personal - motivasi untuk saling memperkenalkan dan mendekatkan diri dengan elemen oposisi yang membuatmu merasa asing tersebut akan cukup untuk menegasikan keasingan tersebut. Seiring dengan waktu dan kebiasaan, pada akhirnya, proses negosiasi yang konstan tersebut akan melahirkan kondisi yang ideal. Terdengar klise mungkin, namun percayalah, aku telah  mengalaminya. 

Comments

Popular posts from this blog

Dominasi 40 Persen Suara Pemilu 2019, Kandidat Pilpres Perlu Bekerja Keras Memikat Suara Kelompok Milenial

Menyoroti Eksklusifitas Semu Fasilitas FISIP UNAIR

Gempa-Tsunami Palu-Donggala: Korban Jiwa Capai 2.256 Orang, Total Kerugian & Kerusakan Hingga Rp 13,82 T