Festival Cheng Beng: Tradisi Ziarah Kubur Etnis Tionghoa di Indonesia
Sumber: jackyyonghonwai (Instagram) |
Sekitar akhir
Maret atau awal April setiap tahunnya, tepatnya salah satu dari 10 hari sebelum
dan sesudah tanggal 5 April, aku dan adikku akan dibangunkan jam 3 pagi untuk
bersiap-siap berangkat ke makam leluhur Ayahku di Pantai Cermin. Aku sudah
familar dengan Festival Cheng Beng ini sejak sejauh ingatanku mengingat. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, salah satu dari kedua orang tuaku akan menggiringku
untuk cepat-cepat ke kamar mandi untuk sekedar menggosok gigi dan membasuh
muka. Subuh masih terlalu pagi dan dingin untuk mandi.
Di depan rumah,
segala warna-warni kertas, kue, dan buah-buahan sudah menempati bagasi mobil.
Spion dalam mobil sudah tidak berguna karena kotak-kotak besar tempat kertas
sembahyang sudah menghalangi pandangan ke belakang. Berbungkus-bungkus
uang-uangan kertas, dari yang berwarna kuning keemasan hingga putih keperakan,
sudah ditata di dalam kotak-kotak tersebut. Minggu lalu, aku dan adik
ditugaskan Ibu untuk melipat uang-uangan tersebut untuk menyerupai batangan
emas dan perak mata uang masa kekaisaran Cina dulu. Uang-uangan ini nantinya
akan dibakar untuk mengirim rezeki kepada leluhur kami. Tradisi ini dipercaya
akan membantu leluhur kami di akhirat.
Sumber: ireneblchua (YouTube) |
Pertanyaan-pertanyaan
ini sering mengusik kepalaku dalam setiap tradisi yang dilaksanakan keluargaku.
Khususnya, dalam perjalanan kami ke pemakaman Pantai Cermin dari Medan yang
akan memakan waktu 1 jam ini. Namun, aku
tahu percobaan untuk mematahkan rantai tradisi turun-temurun ini sebaliknya
akan sangat mengusik keluarga besarku. Aku sudah pernah mempertanyakan ini
kepada kedua orang tuaku dan jawaban mereka tidak memuaskan. Maka, aku, seperti
adikku langsung terlelap, melanjutkan tidur kami yang terpotong tadi.
Sesampainya di
area pemakaman, matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Aku dan adik membantu
Ibu dan Ayah mengangkat barang-barang di bagasi mobil. Kami berjalan menuju
makam kakek-nenek Ayahku dan aku menyadari bahwa saudara-saudari Ayah sudah
mulai menata bawaan mereka di depan batu nisan kuburan. Aku lihat Tante memberikan
uang kepada beberapa anak kecil yang menggotong sapu lidi di pundak mereka.
Anak-anak kecil ini selalu menawarkan diri untuk menyapu kuburan dengan sapu
lidi mereka setiap tahunnya selama Cheng Beng. Ini berarti, kuburan sudah mereka
bersihkan.
Sumber: iamsonsijin (Instagram) |
Semakin siang,
area pemakaman tersebut semakin padat. Asap dupa mulai mengepul di sekitar
kami. Keluarga lain melakukan hal yang sama dengan kami. Beberapa dari mereka
bahkan sudah mulai membakar uang-uangan mereka. Ini berarti, leluhur mereka
sudah selesai makan sajian makanan persembahan. Kami dapat mengetahui ini
dengan bertanya kepada leluhur melalui sepasang kepingan kayu berbentuk bulan
sabit yang dilempar ke atas. Apabila kepingan kayu jatuh ke tanah buka-tutup,
artinya arwah leluhur sudah selesai menikmati hidangan yang disediakan..
Apabila kepingan kayu buka-buka, maka arwah sedang tertawa karena menikmati
santapan. Apabila kedua kepingan kayu tutup-tutup, maka arwah marah karena
belum menyelesaikan menyantap makanannya. Seluruh sajian dibiarkan tetap di
altar hingga kepingan kayu yang jatuh buka-tutup. Sementara itu, keluarga kami
akan berbincang-bincang santai di bawah terik matahari dan panas asap
pembakaran sampai kepingan kayu yang dilempar sesekali tersebut jatuh
buka-tutup.
Sumber: dreamstime,com |
Sumber: devianatineschel (Instagram) |
Sumber: jonni_long (Instagram) |
Pada akhirnya, sebagai seorang Buddhis, Festival Cheng Beng mungkinlah tidak ideal dalam filosofi serta dampak pada lingkungannya. Namun, sebagai seseorang yang lahir di keluarga Tionghoa yang meyakini ajaran Konghucu, Festival Chengbeng memang tradisi penting bagi masyarakat Tionghoa untuk berkumpul dengan seluruh anggota keluarga dalam rangka menghormati dan memperingati leluhur kami. Namun, aku rasa akan lebih baik apabila tradisi ini dimodifikasi untuk lebih ramah lingkungan. Untuk sekarang, aku yang masih tinggal di bawah atap rumah kedua orang tuaku hanya bisa menuruti tradisi ini.
Comments
Post a Comment